0
Home  ›  Keluarga  ›  Parenting

Belajar Parenting Bersama Founder QIS, Lili Musyafa'ah

"Parenting Bersama Lili Musyafa'ah, Belajar Parenting, Anak Down Syndrom"

 

Parenting+Bersama+Lili+Musyafaah


Memiliki seorang anak down syndrome terkadang bisa menjadi suatu pukulan bagi kedua orang tuanya. Terutama ibunya. Namun jika mereka, sebagai anak juga ditanya, diberi pilihan untuk memilih, di orang tua mana akan dilahirkan, akankah mereka memilih kita menjadi orang tuanya? Belum tentu. Bahkan sebagian anak, terkadang merasa "tidak ingin dilahirkan di dunia ini". 


Kemarin, Sabtu, 13 Agustus 2022, bertempat di Rumah Makan Apung Rahmawati, daerah Gresik - Jawa Timur, para wali murid TK Sultan Agung Romokalisari - Surabaya, berkesempatan untuk mendengarkan penuturan dari seorang wanita hebat yang berpengalaman mendampingi anak down syndrom. Ibu Lili Musyafa'ah. Seorang Ibu empat anak, yang sekaligus pendiri sekolah khusus down syndrom, QIS (Quali International Surabaya).


Konon awalnya, Bu Lili juga sempat merasa shock dengan kondisi anaknya. Namun di kemudian hari beliau bisa menerima keadaan, ridho dengan ketetapan Allah, karena telah terpilih menjadi seorang ibu yang dipercaya untuk dititipi anak spesial dari-Nya. Berawal dari sanalah, kini beliau menjadi pembicara di mana-mana. Berkesempatan mengunjungi banyak kota di dalam dan di luar negeri. Masya Allah.


Anak Bukan Hanya Investasi Dunia


Kita semua pastinya sepakat, bahwa anak bukan hanya sekadar investasi dunia. Namun juga sebagai investasi orang tuanya di akhirat kelak.


Dalam pembahasan parenting kemarin, Bu Lili mengajak para ibu dari TK Sultan Agung, mencerna makna, semua amalan di dunia akan terputus manakala seseorang meninggal dunia. Kecuali tiga perkara. Salah satunya adalah anak berbakti (shalih dan shalihah). Dalam arti lain, jangan mendidik dan membesarkan anak semata-mata hanya karena agar kelak ada yang mengurus kita ketika sudah tua. Lebih dari itu, anak bisa menjadi ladang pahala panjang, yang kelak terus mendoakan kita ketika telah tiada.


Anak menjadi asset utama untuk bekal akhirat orang tuanya. Sebab itu diperlukan perjuangan ekstra untuk bisa mewujudkan tujuan tersebut. Memberikan pendidikan yang terbaik kepada mereka adalah suatu keharusan. Agar terbentuk karakter dan akhlak yang kuat dan terpuji. Hal ini senada dengan yang pernah ditulis Syech Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya yang berjudul, Tarbiyah Aulad Fil Islam, yang kurang lebihnya berbunyi, "Manusia dan segala apa yang ada di dalamnya berupa kecenderungan dan kesiapan, tabiat dan pembawaan. Apabila terdidik dengan akhlak utama, disirami dengan ilmu pengetahuan, yang disertai amal shaleh, maka, jiwa tersebut akan tumbuh dalam kebaikan, dan mendekati kesempurnaan. Sehingga pemiliknya akan serupa malaikat yang berjalan di tengah ummat. Namun, jika dibiarkan, ia akan dihinggapi karat kebodohan ber­campur debu kejahatan, dan ditumpuki dengan adat kebiasaan tercela. Jiwa tersebut akan tumbuh dengan kejahatan dan kerusakan. Pemiliknya akan serupa dengan binatang liar yang berjalan di tengah umat manusia, dan ia mengira bahwa dirinya sebagai manusia yang terhormat". Naudzubillahimindzaalik


Saya sangat merekomendasikan buku tersebut untuk dibaca oleh para orang tua, karena buku tersebut tidak akan usang dimakan zaman. Meskipun saya sendiri membacanya pada tahun 2007an. Namun saya yakin buku tersebut masih sangat relate dengan zaman sekarang. Sayangnya punya saya hilang, tepat satu hari setelah selesai saya baca. Tertinggal di westafel umum di suatu kota. 





Memulai Proses Pendidikan Anak


Jika kamu ditanya, "kapan pendidikan seorang anak sebaiknya dimulai?" Apa jawabanmu? Pasti beragam ya…


Saya sendiri akan menjawab, "mulai saat saya mencarikan seorang ayah bagi mereka."


Dalam pertemuan Sabtu kemarin, Bu Lili menyampaikan tiga aspek dalam mendidik, membentuk karakter, dan akhlak seorang anak. Yang pertama adalah, 


Pendidikan Informal (Dari Rumah)


Di dalam Islam ada ungkapan yang berbunyi, Al Ummu Madrasatun Ula, Ibu adalah sekolah utama bagi anak-anaknya.


FYI, Keempat anak Bu Lili Musyafa'ah ternyata tidak ada yang sekolah formal. Beliau mendidik anak-anaknya di rumah, dengan membuat kurikulum sendiri. Dan beliau bisa membuktikan apa yang beliau lakukan berjalan dengan baik dan sukses. Anak-anak beliau juga bisa membaur dengan masyarakat. Bahkan di kemudian hari, mereka diterima untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Menakjubkan bukan? Lalu apa sih kuncinya?

"Komunikasi di rumah adalah sentra keberhasilan." Begitu Bu Lili Musyafa'ah berkata.


Artinya, komunikasi antara kedua orang tua harus berjalan dengan baik. Begitu juga dengan anak-anak.


Rumah adalah tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak-anak. Di mana mereka akan memulai menyerap semua yang didengar dan dilihat ke dalam otaknya. Masa itu disebut, golden age. Sebab itulah, keluarga di sekitarnya, terutama kedua orang tuanya harus sangat hati-hati dalam bertindak dan berkata, karena mereka pasti akan meniru semuanya. Keluarga harus memberi contoh yang baik-baik. Agar ketika saatnya anak membaur bersama masyarakat, mereka telah siap dengan pondasi yang kuat.





Pembentukan Dari Lingkungan (Masyarakat)


Proses kematangan bersosialisasi seorang anak akan terbentuk ketika mereka membaur bersama masyarakat.


Pernah bertemu dengan anak yang pendiam dan cupu?


Anak Sulung kami sudah suka keluar sejak baru merangkak. Sering membuat heboh pengguna jalan raya sewaktu masih tinggal di Jakarta, karena tahu-tahu kabur tidak kenal waktu. Ketika baru pindah ke Surabaya, saya serasa mau gila menghadapinya yang kabur-kaburan. Padahal usianya baru 18 bulan ketika itu. Mau mengunci pintu, tidak bisa karena itu bukan rumah kami, sementara penghuninya juga ada banyak yang sewaktu-waktu keluar masuk. Saya yang sedang hamil anak kedua merasa kewalahan jika sebentar sebentar harus bukain pintu. Apalagi jika yang mengetuknya dihentak, beruntun dengan kecepatan tinggi. Saya sering terkejut, jantung terasa mau lepas, kemudian tubuh menjadi gemetar sekian lama. Saya benar-benar tertekan batin ketika itu.


Kemudian anak kedua terlahir. Kebalikan dengan kakaknya, dia sangat takut dengan orang. Dengan apapun, termasuk semut dan cicak. Dia hanya tidak takut terhadap Bunda dan ayahnya. Di sinilah saya mulai berpikir untuk mengenalkannya anak-anak dengan dunia luar. Terutama anak kedua (karena anak sulung sudah terbiasa membaur dengan lingkungan). Hal ini saya tujukan untuk membentuk keberanian. Sayangnya, dari sana pula Anak Sulung mulai belajar mengumpat.  Padahal apa yang dia ucapkan dan lakukan pasti ditiru oleh adiknya. Usia Anak Sulung kami saat ini 5 tahun.


Menurut Bu Lili, pada usia 5 - 9 tahun, daya serap seorang anak akan berkurang hingga menjadi 30%. Itu adalah usia, di mana anak mulai berkenalan dengan dunia baru. Yaitu pendidikan dari luar.


Di lingkungan bermain, mereka bertemu dengan banyak teman yang berasal dari berbagai keluarga, dengan penerapan pendidikan yang berbeda-beda. Sudah pasti karakternya akan berbeda-beda. Dan itu membawa dampak bagi anak lainnya. Anak bisa saja terpengaruh oleh kebiasaan teman-temannya. Sebab itulah mencari lingkungan yang baik juga sangat dianjurkan bagi para orang tua. Namun, apabila lingkungan memang terlanjur tidak aman, sementara orang tua belum memiliki kemampuan pindah, sehingga anak membawa hal-hal buruk dari luar pada kebiasaan hariannya, maka di sinilah peran penting keluarga. Yaitu menyaring apa yang didapat anak dari luaran sana.


Pengetahuan Dari Sekolah


Awal-awal punya anak dulu, saya galau bukan main. Banyaknya informasi mengenai perundungan yang dialami anak-anak oleh teman-temannya sendiri, juga pengalaman yang pernah saya alami di masa Sekolah Dasar (SD) dulu, membuat saya sangat takut dengan masa depan anak-anak kami. Saya tidak ingin anak-anak merasakan apa yang pernah saya alami. Saya menjadi agak ragu menyekolahkan anak-anak di sekolah umum. Sempat ada wacana, untuk di sekolahkan di rumah saja. Home Schooling. Ayahnya juga setuju. Namun dia juga memiliki rencana ingin menaruh anak-anaknya di pesantren. Sesuatu yang sangat saya tentang.


Kemudian, setelah mengamati pertumbuhan anak-anak. Keinginan Si Sulung yang begitu kuat untuk bisa sekolah seperti teman-teman lainnya, serta pertimbangan agar ke depannya anak-anak pandai bersosialisasi dengan masyarakat, membuat saya luluh juga, dan memutuskan untuk mendaftarkannya ke sekolah TK terdekat. Sementara adiknya (Anak Bungsu), mengikuti pra school di sekolah yang sama.


Drama masih berlanjut. Pikiran saya sering cemas. Bagaimana jika mereka, terutama anak sulung, tidak bisa fokus pada pelajaran di sekolahnya? Bagaimana jika dia tidak berminat pada pelajaran-pelajaran semacam itu? Bisakah dia bersaing dengan teman-temannya?


Ini karena saya tahu benar bagaimana anak sulung kami. Meskipun dia sebenarnya sangat cerdas, tetapi minatnya adalah olah fisik. Seperti memanjat, renang, dan sebagainya. Dia tidak tertarik dengan pelajaran yang menuntutnya untuk duduk dan mengamati tulisan. Sejak kecil setiap kali saya membacakan buku, dia akan langsung merebutnya, dan bilang “Sudah tahu”. Kemudian baca sendiri. Ketika saya ajarin menulis, dia akan merebut alat tulisnya, dan malah mengajar sendiri.


Pikiran saya lainnya, bagaimana jika nanti di sekolah teman-temannya mengganggu dia? Bagaimana jika gurunya sibuk, sehingga dia terlepas dari perhatian mereka, lalu disakiti teman-temannya? Bisakah dia membela dirinya? Sebab itulah saya selalu mengatakan ke anak sulung, “Jangan lemah, jika ada yang mengganggu, Kakak harus melawannya. Jika dia memukul Kakak, pukul balik, sama kerasnya dengan dia memukul Kakak. Jika Kakak tidak berani, laporkan ke guru, atau orang tuanya. Kemudian Kakak cerita ke Bunda.”


Terakhir pesan Bu Lili kepada para audiens kemarin, "jangan pernah teriak ke anak". Belajar, berkarya, do the best. Jangan lupa berdoa. Doa seorang ibu, sama seperti doa seorang nabi kepada ummatnya.



23 comments
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS