BLANTERVIO103

Pengalaman Pertama Merantau

Pengalaman Pertama Merantau
27 August 2020
Merantau pertama kali



Ketika kamu seorang gadis, kemudian bertemu seorang pria tampan yang membuatmu meleleh dengan rasa kagum, namun kemudian, dia berkata sinis kepadamu, "Aku tak butuh senyummu!" Bagaimana rasamu? Apa kabar yang bersemayam di dalam sana?


Baiklah.


Itu terjadi puluhan tahun silam, ketika saya pertama kali menjadi perantau. Usia saya belum genap 16 tahun ketika itu.


Saat itu adalah bakda asar, hari ketiga Idul fitri 1997, kami berempat perempuan semua meninggalkan Lampung menuju Jakarta. Mbak Tini, orang asal Jawa yang menikah dengan tetangga kami mencari tenaga kerja untuk dipekerjakan di sebuah pabrik textile milik orang India di daerah Jawa Barat. Itu adalah pengalaman pertama saya melihat orang India di luar televisi. Dan saya merasa surprised. Udik!


Dihantam Ombak di Kapal Ferry


Usai sholat asar saya diantar ayah naik sepeda ke rumah salah seorang bekas teman sekolah sewaktu di SD negeri daerah kami. Teman saya itu melanjutkan ke sekolah SMP, sedangkan saya dua tahun lamanya mengharap keajaiban untuk bisa sekolah, namun harapan itu memang tiada bagi saya. Seolah ungkapan "perempuan jangan sekolah" seperti yang ditulis Kak Linda, benar adanya.


Akhirnya saya memutuskan pergi ketika kakak ipar teman saya itu mengajak kerja bersamanya di Jakarta.


Kami naik bis sampai ke terminal Menggala, karena akan ada bis langsung dari perusahaan yang menjemput di terminal tersebut. Rupanya ada banyak sekali pekerja yang berasal dari Lampung, sehingga perusahaan memberikan jemputan bagi karyawan yang mudik lebaran.


Usai maghrib, bis baru datang, mendata penumpang lalu berangkat meninggalkan terminal Menggala. Saat itulah air mata saya mulai mengalir. "Selamat tinggal, Tulang Bawang." Bisik saya. Sekitar jam delapan malam, kami sampai di pelabuhan Bakauheni. Ini perjalanan tercepat yang pernah saya lakukan selama menjadi perantauan.


Administrasi diurus oleh supir dan kondiktur. Kami hanya duduk manis di dalam bis. Baru diperbolehkan turun dari bis ketika kendaraan sudah nangkring aman di dalam kapal.


Saat kapal ferry yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Bakauheni, lagi-lagi air mata saya menitik, "Selamat tinggal Lampung, aku akan kembali suatu hari nanti." Beiringan hujan yang mulai turun.


Semakin jauh kapal meninggalkan pelabuhan, semakin deras hujan turun. Disertai petir yang terasa begitu mengerikan. Juga ombak yang berkali-kali menghantam tubuh kapal. Membuat kami oleng. Berkali-kali kami sempoyongan hendak roboh. Kemudian kami semua kembali ke bis, di dalam bis juga masih sama, ombak, hujan, dan petir, yang masih belum mau berhenti membuat kami terus-menerus berteriak ketakutan. Dalam kondisi cemas seperti itu tiba-tiba salah seorang penumpang bis berucap, "Ini kalau kapal tenggelam, mati semua kita."


Saat itu juga saya berdoa memohon keselamatan. Itu adalah pengalaman pertama saya naik kapal menyeberang lautan. Itu adalah pengalaman saya meninggalkan kampung halaman. Pengalaman pertama saya hendak pergi merantau. Terlalu ngeri membayangkan kematian diusia belum genap 16 tahun. Saya masih memiliki banyak mimpi, dan saya ingin menggapainya.


Ini Bukan Jakarta


Anak Rantau, tips hidup di rantau



Rabu pagi, 12 Februari 1997, sekitar pukul 03:00 kami sampai di pelabuhan Merak. Kurang lebih 6 jam di atas kapal dengan kondisi yang begitu mengerikan. Padahal, dalam cuaca normal perjalanan kapal Bakauheni ke Merak hanya memakan waktu 3 jaman.


Kami melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah di sebuah tempat parkir yang bersih, yang kemudian hari saya ketahui itu adalah pelataran pintu gerbang pabrik tempat kami akan bekerja. Mbak Tina sendiri sudah 4 tahun lebih bekerja di sana, dan posisinya sudah lumayan tinggi.


Kami langsung cuci wajah, membersihkan diri, kemudian istirahat. 


Pagi itu, kami dikenalkan dengan ibu dan bapak kost, yang menyambut hangat keberadaan kami. Di kemudian hari, dua anak bujangnya naksir saya dong dua-duanya. Untungnya saya type orang yang tidak peduli dan tidak membutuhkan pacar.


"Interviewnya hari Jum'at ya." Kata Mbak Tina.k Itu artinya kami harus menunggu selama dua hari lagi. Sambil menyiapkan dokumen yang dibutuhkan. Sementara kami belum bekerja, kami tinggal di kostan Mbak Tina yang luasnya hanya 3 meter persegi. Saat itulah saya tahu, bahwa ternyata kami berada di wilayah Cikampek - Jawa Barat.


Kangen Rumah


Itu merupakan drama terberat dalam hidup saya. Saya pernah merasakan disiksa oleh majikan ketika bekerja di Arab Saudi dengan taruhan nyawa. Tetapi, ternyata itu lebih bisa saya handle ketimbang rasa kangen kampung halaman pada perantauan pertama saya di Cikampek itu.


Saat itu, saya terus-menerus terbayang mamak saya. Terbayang semua rasa lelah yang dirasakan mamak sepulang kerja di ladang. Kebayang saat mamak berjalan pulang dari warung atau tetangga nyari pinjaman uang maupun beras buat campuran tiwul atau oyek, untuk makan sehari-hari. Terbayang saat mamak menjahit permak pakaian tetangga agar bisa peroleh uang. Terbayang wajah adik-adik yang sering kekurangan makanan. Terbayang adik ketiga yang merengek minta uang sangu Rp. 50 rupiah saat berangkat sekolah, yang jarang sekali dia dapatkan. Saya hampir setiap saat menangis. Menangis, dan menangis. Rinduuu sekali dengan kampung halaman dan orang-orangnya. Tertama keluarga.


Setiap jajan, langsung teringat adik ketiga yang cuma 50 rupiah saja belum tentu dia dapatkan sebulan sekali. Padahal di sekolah, banyak penjual jajanan. Di rantau saya bisa menghabiskan Rp. 1000 dalam 3 hari. Saya menangis, ingiiin terbang ke Lampung dan membagi uang tersebut dengan adik saya itu.


Lalu, setiap makan mie instant, selalu teingat adik kedua. Jaman kami kecil, mie instant merupakan makanan mewah yang sulit sekali kami dapatkan. Hanya orang-orang kaya dengan jumlah anak 1 atau 2 saja yang bisa makan mie instant. Kami keluarga besar akan berfikir ribuan kali untuk membelinya. Ibarat kata, hanya kalau ada keajaibanlah kami bisa makan mie instant. Itu pun satu bungkus mie instant, dicampur dengan mie biasa yang banyak agar semua kebagian. Yang rasanya sudah tidak seperti mie instant lagi. 


Dan saya ingat sekali, selama saya belum menjadi perantauan, saya baru sekali makan mie instant asli. Itu pun hanya satu sendok, karena masak 1 bungkus dibagi dengan kakak dan dua orang adik.


Adik kedua saya, meminta dibelikan oleh-oleh satu dus mie instant ketika saya pulang kelak. Itu membuat saya selalu terbayang wajah dan harapannya, dan lagi-lagi saya menangis setiap makan mie instant.


Interview Dan Ijazah SD


Jum'at yang dijanjikan Mbak Tina tiba. Sejak pagi kami sudah rapi dengan pakaian hitam putih sesuai prosedur perusahaan. Bisa dipastikan, saya yang paling muda di antara pelamar, karena di antara mereka sebagiannya sarjana, kebanyakan membawa ijazah SMA dan beberapa SMP, termasuk kedua teman saya.


"Kenapa ijazah kamu SD?" Tanya personalia yang wawancara kami.

"Saya hanya punya itu, Pak." 

"Mari kita lihat, apakah kamu bisa lolos saat ujian." Saya mengangguk seraya tersenyum.

"Ini warna apa?" Tanya dia lagi menunjuk kertas berbingkai di sampingnya.

"Hijau." Sahut saya.

"Kalau ini?" Lanjutnya. Kali ini menunjuk bingkai di sebelahnya, dengan warna hijau lebih muda dari sebelumnya.

"Hijau." Sahut saya lagi.

"Apakah warna keduanya sama?"

"Tidak."

"Terus kenapa jawaban kamu sama?"

"Karena keduanya sama-sama hijau." Saya masih tersenyum.

"Jangan senyum-senyum saya tidak butuh senyummu."

Deg. Sakiiit. Hikz hikz hikz.


Saya menoleh kanan kiri, lalu berasa membeku. Malu sekali rasanya. Ada banyak cowok yang saat itu sedang mengantri di belakang saya. Personalia berwajah ganteng itu sungguh tidak manusiawi dengan mempermalukan saya di depan umum. Diam-diam saya mendendam, "Lihatlah, suatu hari nanti, saya akan menundukkanmu."


Hari itu kami menjalani test tulis, dan praktek lapangan hingga sore. Dengan pembimbing yang super jutek menurut teman-teman. Tetapi itu tidak berlaku kepada saya. Bagi saya dia sangat menyenangkan karena beberapa kali memuji saya di depan teman-teman dan pimpinan.


Hari Pertama Masuk kerja


Esoknya saya mulai bekerja. Dan mendapati tidak ada separuhnya dari para pelamar kemarin. Rupanya tidak semua diterima. Saya dan kedua teman dari Lampung dipisah. Saya bagian tusuk benang, yang satu bagian menenun, dan satu lagi bagian membersihkan kain usai ditenun.


Sebagai orang baru, saya belum bisa bekerja dengan cepat, dan itu dijadikan alasan oleh mandornya yang memang sudah tidak menyukai saya sejak hari pertama bertemu. Entah ada masalah apa dengannya, ketika memberi saya peralatan di hari pertama saya masuk pun, dia memberikan dengan sinis dan melemparnya di depan saya.


Beruntung, satu minggu di bagian ini saya dipindah ke bagian tenun. Di sini, saya bertemu lagi dengan teman yang satu angkatan sejak melamar. Saya bergabung dengan mereka. Diberi pasangan sesama anak baru untuk menjaga 4 mesin. Dua hari kemudian, pasangan saya tidak masuk kerja, karena kelelahan. Maklumlah, kerjanya berdiri terus, berjalan mengawasi mesin dan memberi amunisi (gulungan benang yang disebut teropong) agar mesin terus berjalan, sebab jika sampai kosong, maka mesin akan berhenti produksi.


"Kamu jaga sendirian hari ini. Semampumu saja, santai, kamu masih baru." Begitu mandor saya yang baru berkata. Dan itu justru menjadi pelecut untuk saya bisa buktikan bahwa saya bisa melakukannya dengan baik. Benar, hari itu saya peroleh acungan jempol dari mandor.


Keesokan harinya, ada anak senior yang tidak masuk, entah apa yang dipikirkan mandor, saya disuruh menggantikannya. Menjaga 8 mesin sekaligus! Lagi-lagi, saat jelang pulang, saya peroleh acungan jempol. Sejak itu, saya langsung diberi tugas menjaga 8 mesin dengan kecepatan umumnya karyawan senior. Saya diberi jatah cuti, dicatat nama dalam kelompok senior. Ketika teman-teman seangkatan masih menjaga 4 mesin berdua hingga sebulan ke depan tanpa shift, saya sudah menjaga 8 mesin dengan 3 shift bersama senior lainnya. Bahkan terkadang, saya satu shift dengan Mbak Tini. Masya Allah, Allah sungguh baik kepada saya. Semua dimudahkan.


Gaji Pertama Yang Mencengangkan


Saya tidak pernah berfikir, bahwa saya akan menerima gaji sebanyak itu. Maklumlah orang udik yang jarang sekali memegang uang. Paling banter punya uang Rp. 1000 rupiah, itu pun hasil nyelengin berminggu-minggu jika saya diajak ngais sisa kedelei di ladang warga sekitar. Jika menunggu diberi orang tua, jelas bisa hitungan tahun untuk mengumpulkan 1000 rupiah.


Pada tahun 1997, krisis moneter belum terjadi. Uang masih sangat berarti, uang masih sangat berharga.


Semua karyawan di tempat saya kerja, menerima gaji perduaminggu sekali. Sehingga tidak mengalami sulitnya tanggal tua. Karena sebelum uang habis, sudah menerima lagi. Saat itu, gaji pertama saya adalah, Rp 57.000. itu artinya dalam sebulan saya peroleh gaji Rp. 114.000. Nominal yang sungguh mencengangkan bagi saya.


Saya, dan salah satu teman dibuatkan kamar baru oleh pak kost berdekatan dengan Mbak Tina. Berangkat kerja cukup jalan kaki. Dalam satu bulan saya hanya menghabiskan Rp. 25.000 untuk biaya makan dan bayar kostan. Rp. 12.500 untuk kost, Rp. 12.500 untuk kebutuhan memasak. Saat itu, kostan 25.000 (karena ngekost berdua, jadi bayar kostan dibagi 2), sudah lumayan bagus, karena rata-rata di sekitar harganya masih di bawah 10.000/bulan. Bahkan banyak teman yang masih menyewa hanya seharga Rp. 5.000/bulan. Mie ayam, bakso, soto, cuma Rp. 100 - 150 Rupiah. Bubur ayam harganya hanya Rp. 50 Rupiah 


Sayangnya, saya hanya bertahan tidak lebih dari satu tahun di sana. Karena suatu hal, saya memutuskan keluar dan pulang kampung.


Hwaaah panjaaaang. Masih bisa berlembar-lembar jika saya ceritakan semua pengalaman saya sewaktu pertama kali merantau.


Cerita cinta kedua anak pak kost yang lucu. Pria seberang jalan yang selalu "mengantar - jemput" setiap saya berangkat dan pulang kerja. Tentang sepupu pak kost yang hampir setiap malam datang. Tentang adik tetangga kostan yang memohon agar saya jangan pergi. Tentang perhatian pengawas yang diam-diam. Daan banyak lagi, yang tidak akan muat ditulis dalam satu postingan.

Share This Article :
Ida Raihan

TAMBAHKAN KOMENTAR

Click here for comments 23 comments:

  1. Kak Ida masih bisa mengingat semua itu.. hebat banget kak 😍.
    Luar biasa pengalaman kala itu ya kak.
    Saya gak pernah kemana-mana.
    Sehabis kuliah malah nyoba merantau tapi semua biasa saja.. hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi pengalamanmu dengan anak-anak pasti seru Mbak.

      Delete
  2. kisahnya inspiratif... salah satu hebatnya perantau adalah menjadikan seorang pendiam menjadi pencerita ulung.

    ReplyDelete
  3. Pengalaman pertama saat merantau itu, sedikit sedih karena belum terbiasa dengan suasana baru.
    Dulu waktu kuliah, merantau ke Jambi kerinci tempat saudara ibu sampai tamat kuliah, banyak hal yang dirasakan dimana kalau tinggal bersama orang tua bisa sedikit manja tapi kalau merantau harus lebih bangun dipagi hari sebelum orang bangun.
    Dan uang yang dikirim pun sebisa mungkin di hemat sampai datang kiriman selanjutnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagus itu. Jadi sejak single dah belajar mengelola keuangan.

      Delete
  4. Mbak ceritanya bagus banget bisa dibikin otobiografi nih di kanal blognya...lanjutin ya mbak sy kepo nih menginspirasi banget lho perjuangannya

    ReplyDelete
  5. masyaAllah 1997, saya masih bau ingus mbak baru lulus TK haha. masih jelas bgt teringat ya, jadi kepo kenapa cuma merantau satu tahun hihi? apa karena krismon?

    ReplyDelete
  6. Wah dulu uang segitu berharga banget ya mbak. Sekarang beeeh jangan ditanya, 10rb cuma dapat bakso, boro-boro bisa bayar kosan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bakso juga gak cukup Mas. Saya beli bakso berdua ngan suami dah dibatas 30K.

      Delete
  7. Merantau di tahun segitu pasti banyak cerita ya mba..karena dulu belum ada gadget, transportasi juga masih seadanya. YA ALLAH aku yg merantau 6 bulan saja ke semarang seperti ga betah aja. Eh 6 bulan bukan merantau kali ya hehehe

    ReplyDelete
  8. Semangat mbaa. saya dulu pertama kali merantau pas kuliah, hehe. Rasanya apa ya, gak mewek sama sekali loh. soalnya dari dulu emang pengen mandiri dan keluar dari rumah, wkwkwk. jadi pas hari pertama pindah ke Bandung dan tinggal ngontrak sama teman2 kuliah. rasanya happy dan beda aja gitu, excited. tapi emang tetap home sick beberapa bulan kemudian, wkwkwk.

    ReplyDelete
  9. Tahun segitu aku masih esempe dan dikau sudah kerja dudududu kaya banget pengalaman hidupmu sista 🤗🤗🤗🤗

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harusnya masih SMP juga Cyin, etapi karena aku gak sekokah, jadi ya merantau.

      Delete
  10. Aku penasaran bangettt. Serius deh, kak. Bikin lagi doong ceritanya. Mau kepo juga nih sama mas mas sebrang jalan itu hehe

    ReplyDelete
  11. Keren kak...anak perantauan selalu membuat saya berdecak kagum..banyak pengalaman dan cerita yg bisa dibagikan

    ReplyDelete
  12. Luar biasa kk perjuangannya dalam perantauan, saya belom pernah merrasakan hidup diperantauan

    ReplyDelete
  13. Wow pengalaman hidup yang berat sekali ya kak, sewaktu masih muda ya. Salut aku sama dirimu sista.... Pengalaman pahit mengajar kita untuk kuat dan bertahan. Sebab badai selalu ada pelangi yang menanti

    ReplyDelete
  14. Penuh perjuangan sekali kak Ida. Keren banget. Pas baca dari Tulang Bawang, saya jadi ingat Ve, salah satu kontestan AFI 1

    ReplyDelete
  15. Wah enaknya punya pengalaman merantau, aku tidak pernah merasakan merantau loh kak, padahal kalau lihat orang yang merantau kayanya enak banget ya . jadi mandiri dan punya pengalaman jauh dari orang terdekat terutama orang tua.

    ReplyDelete
  16. Mbak Ida orang Lampung ya, dulu aku pernah merantau ke lampung. tinggal di Way Halim. Waktu itu, kerja dianakan PT. PGN. Btw, kalau kita merantau, pasti pulang juga mbak. Hihihi. Akhirnya aku pulang lebaran tahun 2012 dan menikah, tidak balik lagi ke rantauan.

    ReplyDelete
1897012769711992300