0
Home  ›  Tidak Ada Kategori

ASIMOR Pelancar ASI Berbahan Herbal

 

Asimor, pelancar asi herbal alami


Dua kali melahirkan, dua kali secar, dua kali pula terjadi drama.


 Kapok? Jelas saya merasa kapok sekarang ini, entah ke depannya. Suami masih menginginkan anak lelaki, tetapi saya berharap dua yang saat ini saja sudah cukup. Ini saja sudah terasa kayak mau merobohkan rumah setiap hari. Apalagi drama yang saya alami saat melahirkan anak pertama terlalu panjang dan sungguh melelahkan. Hikz.

Tanya donk, Mamsi (Mama Asi) kalau menonton drama Korea nyari yang episodenya pendek atau yang penting menarik? Saya pribadi, setiap mau menonton drama Korea pasti cek dulu episodenya. Jika melebihi 24 episode saya tidak jadi menonton, kecuali memang drama yang recommended banget nget deh. Eh, kita bukan mau ngomongin drama Korea kan ya? Hahahaha bukan kok, saya hanya mau sedikit berumpama saja. Hihi.


Jadi gini, drama secar pertama saya tu saangat panjang dan berbuntut ke baby blues, yang konon mendekati ke Post Partum Depression (PPD), naudzubillahimindzaalik ya. Serem kalau sudah ke PPD mah. Etapi, di sini saya gak mau deh cerita soal PPD, karena sudah lewat dan sudah beberapa kali pernah saya tulis juga sebagai terapi diri. Saya juga tidak mau banyak cerita di social media sih, males ada yang nyinyir “kurang iman.” Wow. Intinya, drama yang saya alami ketika itu, sungguh tidak semanis drama Korea, gitu loh maksudnya, Momsi.


Persiapan Kelahiran Pertama


Hamil pertama kalinya, dan tinggal jauh dari keluarga (kami hanya berdua di Jakarta ketika itu), saya harus rajin menjaga diri sendiri, mencari info sendiri mengenai seluk-beluk kehamilan dan kelahiran. Beruntungnya, ketika itu saya bertemu dengan sebuah group facebook yang berguna sekali untuk sharing kehamilan, kelahiran, hingga ke merawat bayi. Dari sanalah saya memulai persiapan, kawal awal. Saya tahu pentingnya IMD bagi ibu dan bayi. Sayangnya, takdir tidak selalu berjalan sesuai rencana.


Anak pertama saya lahir di sebuah rumah sakit yang saya rasakan pro susu formula, sehingga si bayik ini tidak peroleh IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Begitu dia lahir, perawat langsung membawanya pergi, dan membawa masuk kembali ke ruang operasi, setelah bayi rapi dengan bedongnya. Itu pun hanya sebentar lalu dibawa pergi lagi. Bahkan setelah saya masuk ke ruang inap, bayi tidak boleh berada di kamar dengan saya. Dia ditaruh di ruang khusus bersama para bayi lainnya. Sedih? Banget. Bahkan hingga saat ini, jika ingat kejadian itu, rasanya masih nyesek di dada ini.


Kecewa, tetapi memang tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah salah sejak awal kenapa tidak mencari tahu lebih dulu tentang rumah sakit tersebut dalam menangani kehamilan dan kelahiran. Untuk pelayanan dan fasilitas, rumah sakit tersebut sangat bagus. Bahkan dokternya kategori dokter yang "dirindukan" di antara semua dokter yang pernah saya kunjungi saat memeriksakan kehamilan. Begitu pula para perawatnya, mereka sangat peduli terhadap pasien. Ketika melihat saya sendirian dalam waktu lama, mereka pada menanyakan, “Ibu, kenapa sendirian saja dari tadi, keluarganya di mana, Bu?” yang masih bisa saya tanggapi dengan santai meskipun sedih mau mlahirkan tak satupun ada keluarga yang menunggui. Suami yang katanya pulang untuk mengambil perlengkapan belum juga muncul hingga beberapa jam kemudian. Dari jam 10 pagi, hingga saya usai operasi pukul 13:30an.


Mendadak Secar


Jum'at pagi itu, belum waktunya jadwal kontrol sebenarnya. Tetapi, sudah sejak dua hari sebelumnya saya merasakan tidak ada gerakan aktif di perut saya, setelah sebelumnya, seperti ada yang berputar dengan cepat.


Malam itu, 04 November 2016 sekitar pukul 22:00, saya curiga itu bayi dalam perut sedang protes setelah seharian saya bawa motoran selama kurang lebih 8 jam. Cairan juga keluar dari bawah, tidak ingin ada resiko, melalui WhatsApp, saya berusaha konsultasi sama bidan klinik yang rencananya saya akan melahirkan di sana.


"Tidak usah datang (ke klinik) kalau tidak ada lendir campur darah." Begitu bidan beberapa kali menegaskan. Dalam hati saya tetap tidak percaya. Khawatir terjadi sesuatu kepada si jabang bayi. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa karena bidan tetap bersikeras agar saya tidak datang kepadanya.


Keesokannya bayi tidak bergerak sama sekali. Sudah pasti saya was-was. Beberapa teman menyarankan untuk segera ke dokter saja. Namun ketika saya bersiap hendak ke dokter, bayi kembali bergerak meskipun sangat pelan. Sehari itu hanya bergerak sekali. Itu pun pelan sekali, sehingga tidak mengurangi kecemasan saya. Begitu pula keesokan harinya dan dua hari setelahnya.


Suami masuk kerja dari pagi hingga malam, jadi saya belum bisa ke dokter. Yang saya lakukan hanyalah istirahat saja di atas kasur. Sayangnya, si bayik dalam perut bukannya semakin aktif, tetapi hingga tanggal 9 dan 10 November, justru tidak bergerak sama sekali. Saya pun memutuskan untuk memeriksakan kandungan ke rumah sakit rujukan di hari berikutnya. Tepatnya 11 November 2016.


"Air ketubannya sudah berkurang, Bu, apalagi dua hari tidak gerak, harus segera dikeluarkan ini bayinya. Secar hari ini ya, Bu." Begitu Dokter menjelaskan.


“Secar, Dok? Tidak bisakah cara lain? Induksi misalnya?” Jelas saya langsung merasa merinding mendengar kalimat secar ditujukan kepada saya.


“Tidak bisa, Bu. Terlalu beresiko.” Sahut dokter.


Ketakutan Menghadapi Secar Pertama


Di Antara rasa cemas dan ketakutan, saya langsung menelepon suami yang kemungkinan baru sampai di tempat kerja. Saya menangis. Menelepon Mamak di Lampung juga sambil menangis. Saya benar-benar ketakutan. Saya sama sekali tidak ada persiapan mental untuk menjalani operasi secar, karena hati saya yakin bisa melahirkan secara normal. Ternyata takdir berkata lain.


Pagi itu, saya dipasang infus sejak pukul 09:00. Menghabiskan dua kantong darah karena Hemaglobin (HB) cuma 7, padahal seharusnya 12. Operasi yang rencananya akan dilakukan pukul 11:00 mundur ke jam 13:00.


Saya berharap, ada keluarga yang melihat saya saat dibawa perawat masuk ke ruang operasi. Sayangnya tidak ada. Suami saya yang dipeirintah mengambil beberapa peralatan oleh perawat sejak pukul 10:00, belum datang hingga pukul 13:00. Saya benar-benar sendirian menghadapi ketakutan secar pertama.


Dua hari pasca lahiran, anak dirawat, terpaksa saya bolak-balik menjenguk dan pulang, padahal saya masih proses penyembuhan pasca secar. Singkat cerita, saya mengalami baby blues yang panjang, setahun lebih. Ditambah ASI yang sering mampet, bikin meradang setiap saat.


Proses Lahiran Kedua


Anak kedua kami lahir ketika anak pertama baru berusia 2,4 tahun. Lagi-lagi harus dengan proses secar (SC) karena dokter menilai, saya seharusnya belum boleh hamil sebelum anak pertama usia 5 tahun. Kali ini saya lahiran di Surabaya. Ada suami yang bisa full mendampingi. Ada tiga orang kakak ipar, dan ibu mertua yang menjenguk. Tetapi, proses secar kedua justru lebih sakit sejak selang urine dimasukkan ke saluran pipis beberapa jam sebelum secar dilakukan. Kesakitan yang membuat saya berkali-kali menangis.


Proses secar sangat cepat. Begitu bayi terdengar menangis, perawat langsung mengangkat dan menempelkan ke dada saya.


“IMD ya, Bu.” Katanya. Saya mengangguk bahagia. Merasa seperti pejuang kASIh sungguhan. Sayangnya, tiba-tiba dada saya terasa sesak sekali. Nafas saya seperti akan terputus. Dengan cekatan para pendamping dokter memberikan pertolongan pernafasan dan pijatan, perawat membawa pergi si bayi, dan saya tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin saya sempat dibius lagi, entahlah. Ketika sadar, saya sudah berada di ruangan lain. Kamar pasien. Ada suami, dan kedua kakak ipar.


Setelah empat hari menginap di rumah sakit, saya diijinkan pulang, sayangnya, bayi saya ditahan, karena dinyatakan terkena bilirubin. Perawat menyarankan saya untuk pulang. Tetapi saya tidak mungkin untuk meninggalkan bayi saya seperti kakaknya dulu. Saya tidak mau apa yang dialami anak pertama terulang kedua kali. Mulutnya disumpal tutup dot dan disolatip sama perawat. Hikz hikz, sedih kalau inget kejadian itu.


“Soalnya dia menangis terus, Bu.” Begitu perawat menjelaskan ketika itu. Menangis karena seperti tidak puas dengan ASI yang saya berikan, padahal sama mereka sudah disambung susu formula.


Perjuangan Memberi ASI Anak Kedua


Saya merasa sehat ketika memutuskan menginap di rumah sakit lagi. Kali ini bukan sebagai pasien, melainkan sebagai ibu pasien. Tidak lagi peroleh jatah kamar untuk tidur, tetapi di lorong rumah sakit yang dingin dan sepi ketika malam tiba.


Malam itu saya begadang melawan dingin dan rasa sakit pasca operasi. Suami dan anak tidur di ruang dan kursi tunggu. Saya membangunkannya setiap kali suster memanggil meminta ASI. Malam itu sungguh malam yang melelahkan, sekaligus ngantuk berat buat saya. Tetapi saya masih harus berjuang memerah ASI demi agar anak saya tidak kelaparan. Awalnya ASI lancar, tetapi lama-lama habis juga setelah semalaman suntuk diperah tanpa henti. Bahkan hingga terasa sakit sekali payu dara saya. Malam itu, terasa panjang sekali.


Ketika pagi tiba, tubuh saya sudah kehilangan tenaga. Pikiran saya mulai tidak waras. Melihat orang berjalan saya ingin menangis, melihat anak berlarian ingin menangis, melihat orang menutup pintu, ingin menangis, dan sebagainya. Semua yang saya lihat, menjadikan dada ini sesak ingin menangis. Akankah saya mengalami baby blues lagi? Sesuatu yang sempat membuat saya trauma untuk melahirkan lagi.


Ketika suami pergi menyelesaikan administrasi, itulah kesempatan saya. Di salah satu pojok ruang tunggu, saya menangis. Meraung-raung meluahkan semua sesak dan kepenatan hati dan diri. Tidak ada orang yang mendengar, tidak ada yang melihat karena memang masih pagi. Belum banyak pengunjung yang menjenguk pasien di rumah sakit. Puas menangis, saya langsung mencuci wajah agar tidak diketahui anak suami kalau habis menangis. Lalu saya meminta dia membelikan supplement pelancar ASI.


Asimor Pelancar Asi Berbahan Herbal

Asimor, pelancar asi, herbal, daun katuk, torbangun,

Minggu pertama pada bulan Agustus adalah merupakan Pekan ASI dunia. Sebagi ibu yang memiliki dua balita, rasanya saya cukup bangga bisa full menyusui kedua anak saya meskipun dengan berbagai drama yang saya alami. Bersyukur sekali karena ASI saya termasuk lancar, meskipun untuk peroleh ASI yang maksimal, selain makanan yang baik. terkadang saya padukan dengan mengkonsumsi supplement pelancar ASI. Dan itu sangat membantu, karena ASI menjadi lebih dari cukup saat anak sudah mulai lapar.


Untunglah saat ini, mencari produk pelancar ASI tidaklah sulit, karena sudah banyak pelancar ASI yang terbuat dari bahan herbal berkualitas di pasaran. Salah satunya adalah Herba Asimor.


Kenapa Asimor?


Asimor terbuat dari bahan herbal alami yang aman dikonsumsi ibu hamil dan menyusui. mengandung tiga bahan dasar dari alam yang telah terbukti dapat meningkatkan ASI tanpa mengurangi kandungan nutrisi dari ASI itu sendiri.


Antara lain, kombinasi daun katuk, dan daun torbangun yang sudah dipercaya turun temurun sebagai sayuran yang mampu meningkatkan ASI, dengan tambahan extrak ikan gabus yang berkualitas. Selain itu, Herba Asimor juga telah peroleh sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bagi kita yang muslim, tentu hal ini sangat wajib ditekankan ya.


Nah, kabar baiknya nih Momsi, dalam rangka mendukung Pekan ASI Internasional, Asimor memberikan diskon 10% bagi Momsi yang akan membeli produk ini, dengan memasukkan kode voucher GOAPMOMS di link sini.


Selamat mengASIhi, Momsi!

 

57 comments
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS