0
Home  ›  Tidak Ada Kategori

Sisi Negatif Ajari Anak Buang Sampah Pada Tempatnya


Mengajarkan kedisiplinan kepada anak sejak dini sangatlah penting. Agar anak terbiasa dengan kehidupan yang tertata. Salah satu contoh sederhana adalah membuang sampah pada tempatnya.



Ketika kami masih tinggal di kota, sejak usianya menginjak 10 bulan Nurul (sekarang jalan 2 tahun) anak kami sudah mulai bisa berjalan. Sejak itulah dia mulai mengikuti kemana ayah bundanya melangkah. Meskipun tertatih dia akan selalu mengikuti. Dan itu kami manfaatkan untuk mengajarinya membawa sampah ke dapur. Belum berhasil. Dia masih belum faham jika diberi sesuatu, apakah itu makanan atau sampah. Yang ada, semua masuk mulut. Baru ketika usianya 14 bulan, dia mulai faham, mana makanan, dan mana bekasnya. Nurul mulai bisa disuruh membuang sampah pada tempatnya. Dan terbiasa, setuap melihat sampah dia akan membawanya ke dapur, dan membuangnya di keranjang sampah. Perkembangan yang sangat menggembirakan tentu.

Bukan itu saja. Setiap kali kami selesai makan, diusia Nurul yang masih semuda itu, dia juga sudah mulai bisa diandalkan untuk membawa bekasnya ke dapur, dan di taruh di mana biasanya ayah atau bundanya menaruh piring kotor. Di dekat kulkas, samping kamar mandi. Ini kegembiraan selanjutnya. 



Bahkan, tanpa kami suruh, Nurul selalu sigap jika melihat sampah di sekitarnya. Segera diambil dan dibuangnya. Pun ketika di sekitar tempat sampah ada yang tercecer, berbekal dari seringnya melihat ayah bundanya menjepit sampah dengan jari-jari kaki, diusianya 16 bulan, Nurul ikut-ikutan menjepit ceceran sampah dengan jari-jari kakinya untuk dimasukkan ke keranjang sampah. Hal lucu yang dilakukan anak usia 16 bulan.

Namun, tahukah Mom? Ternyata mengajari anak membuang sampah pada tempatnya tidak selalu positif lho?

Kok bisa, pan anak jadi rajin?

Ye... lah... anak jadi rajin. Rajin buang sampah, plus rajin buang makanan!

Ceritanya kami selalu makan sepiring berdua, saya dan suami, sementara ci cantik hanya ikut-ikutan sesuap dua suap. Setiap kali makan tidak habis, atau sisa-sisa tulang di piring sudah pasti saya segera memasukkannya ke keranjang sampah. Saat itulah saya tidak menyadari, jika apa yang saya lakukan selalu diperhatikan oleh anak. Hingga tiba masanya, ketika dia makan apapun, dan merasa tidak habis, maka dia segera menuju tempat sampah untuk membuangnya. Padahaaal bundanya terus setia nungguin, kapan dia gak abis si bunda ini siap ngabisin camilannya. Terutama saat dia nyemil ceker ayam. Hehe...

Pernah suatu hari, sepulng kerja ayahnya membawa sekaleng biskuit yang belum dibuka segelnya. Keesokan harinya, ketika Nurul melihat, dia meminta agar biskuit dibuka, saya pun membuka dan menaruh bersama kalengnya di depan dia. Lalu saya tinggalkan dia di ruang tengah, sementara saya pergi ke toilet. Tidak lama. Sekitar 10 menit. Begitu saya selesai dan kembali, saya melihat kaleng biskuit sudah ada di samping tempat sampah. Kosong. Dan saya hanya bisa menarik napas begitu tau semua biskuit sudah nangkring dengan manisnya di dalam keranjang sampah. Hulala... 

"Aaabis." Jawab Nurul begitu saya tanya. Biskuit satu kaleng sudah aman di keranjang sampah. Bunda hanya kebagian memandangi dengan sesak.

Kejadian berikutnya adalah, saat saya hendak memulai masak untuk makan siang. Saat itu tanggal tua, suami belum gajian, saya hanya mampu membeli seiket daun singkong. Saya taruh di tampah untuk dipetikin, tentu saja Ci Cantik ikut-ikutan. Pas acara nyiangin selesai, saya tinggalkan Nurul bersama daun singkong di baskom. Saya memasak air untuk merebus si daun singkong. Dan ketika saya kembali ke ruang tengah. Apa yang terjadi?

Daun singkong saya hilang Sodara!

Dan saya menemukannya sudah berada di tempat sampah.

"Ampah uang, ampah uang." Kata Nurul sambil menunjuk keranjang sampah. Maksud dia adalah, "Sampah dibuang." Sayah? Lemes campur ingin ketawa. 

Dari beberapa kejadian tersebut, ada kesimpulan yang saya ambil. Anak tidak selalu memahami apa yang mereka lakukan. Maksud mereka adalah sudah benar, membuang sampah, tetapi mereka belum bisa membedakan, mana yang sampah betulan dan harus dibuang, dan mana yang bukan.

Sejak itu saya jadi lebih hati-hati dalam mengawasi apa yang di lakukan anak.

Pertama: Tidak membuang sisa makanan di depannya. Karena seperti yang saya sebutkan di atas, anak akan mengikuti. Apa pun yang di atas piring, kaleng, dan sebagainya, makanan baru sekalipun, jika sekiranya pernah ada yang mengambil, maka dia akan menganggap sisa, yang berarti boleh dibuang.

Kedua: Tidak meletakkan sayuran yang berupa dedaunan hanya bersama anak, karena dia pasti akan menganggapnya sebagai sampah, yang artinya pula, wajib di buang ke tempat sampah. Berabe kan kalau cuma itu itunya?

Ketiga: Tidak memberikan makanan satu wadah penuh ke anak. Berikan secukupnya, sehingga dia tidak mengacak-acak sisanya. Apalagi membuangnya. Sayang kan misal itu Kong Guan satu kaleng? Hikz Hikz...

Itulah pelajaran yang saya ambil dari mengajari anak membuang sampah pada tempatnya. Tentu saja banyak nilai plusnya. Bagaimana dengan pengalamanmu, Mom?
43 comments
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS